Januari 02, 2012

Psikologi Kematian

Pengantar wacana        :
Mengapa psikologi kematian
            Sepanjang Pengetahuan saya, belum ada buku yang berjudul, psikologi kematian. Tetapi pembahasan tentang topic ini bertebaran dalam sekian banyak jurnal psikologi, buku psikologi maupun filsafat. Dalam literature  tasawuf misalnya, membahas soal kematian salah satu topic yang sangat populer.
            Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang memandang kematian sebagai suatu peristiwa dahsyat yang seseungguhnya sangat berpengaruh dalam kehidupan sesorang, namun jarang atau enggan untuk membicarakannya secara terang-terangan.
            Adajugapula yang berpandangan sebaliknya yakin bahwa hidup di dunia hanya sesaat dan kehidupan akhirat lebih muliya lagi kekal didalamnya.
SPIRITUALITAS TANPA AGAMA
            Bagi masyarakat modern, dunia ini semakin hari semakin dirasakan kecil. Batas-batas regional,cultural, dan ideologi kian menipis, bahkan sebagiannya cenderung sirna begitupun jg kopmunikasi antarpaham keagamaan .  Melihat ini, tampaknya semakin mengecilnya dunia tidak tercipta hubungan harmonis antar pemeluk satu agama dengan pemeluk agama lainnya.
Ideologi komunisme yang bangkrut dibeberapa Negara Eropa timur setidaknya mengindikasikan bahwa kekuatan antiagama yang dilancarkan oleh marxisme-lennisme pada akhirnya berada pada pihak yang kalah.  Tapi hal lain juga berarti suatu kemenangan bagi misi dan eksistensi Agama/  bisa ya, bisa juga tidak itulah jawabnya
JIWA YANG TERBELENGGU
            Dalam Alqur-an (Al-araf[7]:182) disebutkan bahwa ruh kita pernah bersyahadat, sekali-sekali tidak akan menyembah kecuali hanya pada Allah. Tapi manusia cendrung lupa pada perjanjian primordial yang agung itu karna telah terjerat oleh kenikmatan dunia yang bersifat sesaat, sehingga ruhani kita sulit untuk terbang kealam ilahi yang maha luas dan indah. Kesadaran ini menghentakkan kesadaranku melalui perilaku burung beo yang saya pelihara dirumah.  Sudah dua tahun saya memelihara burung beo. Dia saya beli dipasar burung didekat blok M. nyayiannya dan sekian macam celotehnya sungguh sanggat menghibur.
          Para tamu sering terkecoh dengan suara salamnya,persis seperti suara anak santri ketika mengucapkan: assalamu alaikum . Agar gerakannya lebih leluasa, maka saya belikan sangkar yang lumayan besar. Pagi-pagi bangun tidur dan sore hari pulang kerja suara burung beo itu terasa indah,meriah dan alami, tidak punya muatan politik dan makian mungkin.  Tapi dalam hati saya sesungguhnya selalu muncul rasa bersalah dan kasihan, mengapa saya mesti mengurung mahluk tuhan dengan sayapnya itu mestinya dengan leluasa bisa terbang bebas menikmati alam lepas,
Saat pembebasan tiba
          Akhirnya, saya dekati burung beo itu. Saya panjatkan istigfar kepada Allah, mohon ampun telah merampas kebebasan makhluk-nya: Hai temanku burung beo. Aku sangat sayang dan berterima kasih padamu.  Setahun lebih kamu telah menghiburku dengan nyanyian-mu yang merdu dan lucu. Tetapi aku juga minta maaf telah memenjarakan-mu. Hari ini aku beri kamu kebebasan untuk terbang menikmati alam bebas. Tapi kalau kamu merasa betah disangkar ini, silakan tinggal dan aku sediakan makan. Pintu akan aku buka, sehingga kamu bebas keluar masuk.
        Demikianlah, ketika saya menulis artikel ini, sudah seminggu lebih sangkar itu terbuka pintunya, tetapi burung beo masih juga tidak keluar. Saya dialog dengan anak dan isteri, terutama dengan anak saya zulfa indira wahyuni yang kuliah di fakultas psikologi. Apakah burung itu tidak mau keluar? Ulfa, demikian panggilan kesehariannya, menjawab: mungkin karna sudah lama terkurung sehingga tidak lagi mampu menangkap peluang untuk memasuki kehidupan baru. Takut untuk memasuki dunia yang lebih luas karna sudah merasa nyaman, sekalipun terpenjara.
        Apa yang terjadi pada burung beo itu, sesungguhnya seringkali menimpa anak manusia. Bahwa seseorang yang sudah lama tinggal di Comfort Zone, tidak berani melakukan perubahan untuk mencari kehidupan baru yang lebih luas dan menantang.  Ini pernah terjadi pada penghuni penjara yang sudah 20 tahun mendekam dirumah tahanan, ketika hari pembebasan tiba, bukannya kegembiraan muncul tapi malah kegamangan menapakkan kaki kealam bebas. Dia merasa malu, takut, dan gamang membangun pergaulan baru dan mencari pekerjaan baru. Akhirnya dia memilih melamar kerja sebagai tukang kebun rumah tahanan yang suasananya sudah menyatu dengan dirinya. 

 {Komarudin hidayat, psikologi kematian mengubah ketakutan menjadi optimisme. Jakarta mei 2011  Pt. mizan
















































































































Tidak ada komentar: