Februari 14, 2011

Delik Menurut KUHP

A. Pengertian delik
           
            Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa jerman disebut delict, dalam bahasa prancis disebut delit, dan dalam bahasa belanda disebut delict.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut. “ Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. (Marpaung, 2009: 7).
             Menurut Prof. Mr. van der Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang dapat dihukum bukan perbuatannya tetapi manusianya. Prof. moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata “delik”. Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit cakupannya daripada “perbuatan”. Kata “tindak” tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret.  E. Utrecht memakai istilah ”peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Adapun Mr. Tirtaamidjaja menggunakan istilah ”pelanggaran pidana” untuk kata ”delik”. (Ibid. hal: 7)
            Para pakar hukum pidana menyetujui istilah strafbaar feit, sedang penulis menggunakan kata ”delik” untuk istilah strafbaar feit. Keberatan Prof. Mr. Van der Hoeven tersebut sesungguhnya kurang beralasan jika diperhatikan pasal 1 ayat (1) Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang berbunyi: ”Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan”.  Dalam hal ini, tepat yang dikatakan van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan.  Mengenai ”delik” dalam arti strafbar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberi definisi sebagai berikut.
1.                  Vos               : Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang.
2.                  Van Hamel   : Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.
3.                  Prof. Simons   : Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. (Marpaung, 2009: 7-8)
Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik materiil. Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang di sini rumusan dari perbuatan jelas.  Misalnya pasal 362 tentang pencurian. Adapun delik materiil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dengan kata lain, hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan. Misalnya pasal 338 tentang pembunuhan. (ibid, hal: 7-8)

      Delicta commissionis (delik-delik yang diwujudkan dengan berbuat aktif)  pada umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsur pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Tempat dan waktu terjadinya delicta ommissionis (delik yang hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan passif atau tidak berbuat atau berbuat lain daripada yang di perintahkan oleh hukum pidana) terwujud di tempat dan waktu pembuat seharusnya berbuat menurut perintah hukum pidana (demikianlah putusan H.R. tanggal 8 juni 1936, N.J. 1936 No. 954). Misalnya seorang saksi di panggil oleh Pengadilan Negeri Makasar untuk memberikan kesaksian di pengadilan pada tanggal 1 juni 1981, namun saksi tersebut tidak datang pada hari itu, karena dianggapnya adalah perbuatan tercela untuk muncul di pengadilan. Maka ia dapat dipersalahkan melakukan delik yang tercantum dalam pasal 522 KUUH pidana. Tempat terjadinya delik ialah dimakasar, karena disanalah ia tidak berbuat atau berbuat passif atau pun berbuat lain daripada datang di pengadilan, sedangkan seharusnya ia datang. Alasan ketidak datangannya bukanlah merupakan alasan penghapus pidana. (Farid. 2010: 177-178)

B. Pengertian unsur-unsur delik
            Untuk mempermudah pemahaman, diberikan ilustrasi sebagai berikut. Kata ”delik” terdiri atas huruf: d, e, l, i, dan k. Jika salah satu huruf dibuang tidak ada kata ”delik” . tetapi ”elik” atau ”delk” dan sebagainya; yang jelas, jika salah satu huruf tidak ada, arti dan maksudnya akan berbeda. Dengan perkataan lain, kata ”delik” terdiri atas 5 (lima) huruf. Tiap huruf merupakan unsur dari kata ”delik”. Demikian halnya jika diformulasikan kepada ”hakikat delik”, misalnya pada delik pencurian (Marpaung, 2009: 8-9)
            ”Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud hendak memilikinya dengan melawan hukum, dihukum karena bersalah tentang pencurian...dan sesterusnya.”  dari ketentuan diatas unsur pencurian adalah
1)      barang siapa;
2)      mengambil;
3)      sesuatu barang;
4)      barang itu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
5)      dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum;
Misalnya, binatang liar dihutan yang tidak ada pemiliknya atau barang yang pemiliknya telah melepaskan haknya (res nullius) diambil oleh seseorang, yang mengambil tersebut tidak memenuhi unsur ke-4. Dengan demikian, tidak ada pencurian. Atau misalnya, yang mengambil barang tersebut hanya memakainya sesaat (bukan untuk memiliki) sehingga tidak terpenuhi unsur ke-5. dengan demikian, ia bukan pencuri. (Marpaung. Ibid hal: 8-9)
            Azenwijse paard-arrest, HR. pada tanggal 6 April 1915  (N.J. 1915, p. 427) memutuskan, bahwa tempat (locus delict) terwujudnya delik ialah tempat dimana alat (instrument) bekerja. Hoge Raad di Nederland menganut ajaran tersebut. Di jerman, teori alat tersebut theorie derlangen Hand (hr.: teori tangan panjang), dan di Naderland disebut der leeer van het instrument (ajaran tentang alat). Pengertian alat, instrument, langen Hand dapat berupa binatang, benda, bahkan orang yang tak mampu bertanggung jawab (misalnya orang sakit jiwa atau kanak-kanak yang belum mengetahui baik dan buruk (Hazewinkel-suringa, 1973: 170).  (Farid. 2010: 178)

C. Pengertian kesengajaan (Dolus: opzet)
            Dalam crimineel witboek (Kitab undang-undang hukum pidana) tahun 1809 dicantumkan: “kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.” Dalam memorie van toelichting (Mvt) menteri kehakiman sewaktu mengajukan crimineel witboek tahun 1881 (yang menjadi kitab undang-undang hukum pidana Indonesia tahun 1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (debewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf).  (Marpaung, 2009: 13)
             Mengenai Mvt tersebut, prof. Satochid kartanegara mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.” Beberapa pakar merumuskan de wil sebagai “keinginan, kemauan, atau kehendak”.  Dengan demikian, perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. Kehendak (de wil) dapat ditujukan terhadap:
a)      perbuatan yang dilarang
b)      akibat yang dilarang
Dahulu diknal dolus malus yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai perbuatan yang dikehendaki dan sipelaku menginsafi bahwa perbuatan itu dilarang diancam hukuman (Ibid, hal: 13)
            Pengertian tentang kesengajaan tidak terdapat di dalam KUUHpidana. Ia harus dicari di dalam buku-buku karangan para ahli hukum pidana dan memorie penjelasan wetboek van Strafrech. Menurut crimineel wetboek Nederland tahun 1809 (pasal 11) opzet (sengaja) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau di perintahkan oleh undang-undang (Utrecht 1960: 301). Definisi semacam itu adalah sesuai dengan pengertian sengaja menurut hukum adat indonesia dan Hukum pidana Anglo-Saxon, termasuk Amerika serikat. Misalnya Curzon (1973:26) melukiskannya sebagai berikut:  X menembak Y dengan maksud untuk membunuhnya, yaitu X dapat membayangkan kematian Y sebagai akibat tembakannya secara aktif mengingini atau menghendaki akibat itu. (Farid. 2010: 266)

Sumber:
Skripsi (karya ilmiah) oleh Muhammad Hairul Ansor. Delik Perzinaan Menurut KUHP (pasal 284) kitab undang-undang Hukum Pidana Ditinjau dari Hukum Islam Palembang: 2011

A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perzinaan Pasal 284 KUHP


Dalam KUHP yang berlaku, delik perzinaan termasuk delik aduan dan ancaman terhadap pelaku sangatlah ringan tidak sebanding dengan hukum Islam.  Sehingga dapat merusak masyarakat itu sendiri (Syarifuddin. 2003: 275).  Konsep perzinaan yang diatur dalam pasal 284 KUHP dengan jelas merumuskan bahwa hubungan seksual di luar nikah hanya merupakan suatu kejahatan apabila para pelaku atau salah satu pelakunya adalah orang yang telah terikat dengan suatu hubungan perkawinan (Suman, dkk. 2001: 183).
Di dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 284 ayat (4) KUHP, undang-undang menentukan bahwa selama selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai, pengaduan yang pernah diajukan oleh seseorang itu dapat dicabut kembali. (Lamintang, 2009: 91)
Di dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 284 ayat (5) KUHP, pada dasarnya undang-undang telah menentukan, bahwa apabila bagi suami-istri yang kedamaian rumah-tangganya telah terganggu oleh peristiwa perzinaan yang dilakukan oleh salah satu pihak dari mereka itu berlaku ketentuan yang diatur dalam pasal 27 Burgerlij wetboek, Maka pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan itu tidak akan mempunyai kelanjutan, jika ikatan perkawinan antara mereka itu oleh pengadilan belum diputuskan dengan suatu perceraian, atau jika perceraian dari meja makan dan tempat tidur yang diputuskan oleh pengadilan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap. (ibid, hal. 91)
Dalam pandangan hukuman Islam dan hukum positif. Masalah zina hukum Islam memandang setiap hubungan kelamin diluar nikah sebagai zina dan mengancamnya dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum, dilakukan suka sama suka atau tidak.  Sebaliknya, hukum positif tidak memandang semua hubungan kelamin diluar perkawinan sebagai zina. Pada umumnya, yang dianggap sebagai zina menurut hukum positif itu hanyalah hubungan kelamin diluar perkawinan, yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam status bersuami atau beristri saja. Selain dari itu tidak dianggap sebagai zina, kecuali terjadi perkosaan atau pelanggaran kehormatan. Dalam pasal 284 KUHP disebutkan:
1)   a.    Laki-laki yang beristri yang berzina sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya;
b.    Perempuan yang bersuami yang berzina;
Semua hukum positif hampir sama pandangannya dalam masalah ini. Misalnya, hukum pidana mesir, mesir, prancis, belanda termasuk Indonesia sebagai mana yang telah disebutkan diatas (Muslich.2005:3)
            Pada awalnya, manusia sangat percaya bahwa kecerdasan intelektual mampu mengantarkan keberhasilan hidup yang lebih membahagiakan. Tidak tahunya, ternyata ukuran keberhasilan tersebut hanyalah ambisi manusia, terutama untuk memperturutkan nafsu mereka dalam berbagai segi kehidupan (Suyadi, 2009: 105-106)
            Perilaku hubungan seks pranikah yang dilakukan remaja ternyata sudah dari dulu ada. Namun belakangan ini sikap permisif tersebut lebih ditunjukkan secara terbuka. Makin banyak perilaku seks pranikah dikalangan remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah disebabkan  pertumbuhan psikologi dan psikis remaja yang mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Sedangkan faktor eksternal adalah adanya dorongan dari lingkungan untuk melakukan hubungan pranikah. Seperti derasnya informasi hubungan seksual ditengah masyarakat melalui media massa, Film, atau internet. (Tanjung, 2007: 3)
            Islam melarang sejumlah kemungkaran secara bertahap secara bertahap, larangan khamer, misalnya, sebanyak tiga tahapan. Tapi larangan terhadap zina turun sekaligus. ini menunjukkan. Betapa kejinya zina itu dalam pandangan Islam. Sedangkan alasan mengapa ketentuan hukuman zina diturunkan secara bertahap, itu lebih berkaitan dengan jenis hukuman itu sendiri, bukan larangan terhadap zina. dengan jenis hukuman yang cukup berat mengindikasikan bahwa zina haram sampai kapan pun. (Ilahi, 2006: 30)
            Menurut KUHP maupun RUU-KUHP, apabila fellatio atau perbuatan seksual lainnya itu dilakukan oleh orang-orang yang sudah sama-sama dewasa, sama-sama suka, masing-masing tidak terikat perkawinan, dan tidak dilakukan di tempat umum, tidak dilarang. Tetapi jika fellatio, atau perbuatan seksual serupa lainnya, misalnya memegang alat kelamin pasangannya yang dilakukan ditempat umum dan dimuka umum, seperti yang disaksikan penulis dikereta Api, menurut pandangan orang-orang barat sekalipun, mungkin masih dapat dinilai tidak sopan. (Djubaedah, 2003: 175)

Sumber:
Skripsi (karya Ilmiah) Oleh Muh.Hairul Ansor. Delik Perzinaan menurut KUHP (pasal 284) kitab undang-undang hukum pidana Ditinjau dari hukum Islam. Palembang 2011